Shuhbah di Masjid As-Siddiq
A`udzu billahi min asy-Syaythaani 'r-rajiim. Bismillahi 'r-Rahmaani 'r-Rahiim.
Nawaitu 'l-arba`iin, nawaitu 'l-`itikaaf, nawaitu 'l-khalwah, nawaitu 'l-`uzlah,
nawaitu 'r-riyaadhah, nawaitu 's-suluuk, lillahi ta`ala fii haadza 'l-masjid.
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Athi`uullaha wa athi`uu 'r-Rasuula wa uuli 'l-amri minkum.
Taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya, dan taatilah para ulil amri di antara kalian. (4:59)
Saya mendengar dari Mawlana Syekh Nazim, semoga Allah memberinya umur panjang, bagian dari shuhbat, di mana beliau menyebutkan poin yang amat penting, yang amat syafaafa, transparan, sehingga kalian nyaris tidak bisa menangkapnya. Beliau bicara tentang sebuah konferensi, dan bahwa orang-orang zaman sekarang membuat banyak konferensi di mana orang-orang yang hadir datang dan pergi, di mana hanya uang yang diberikan untuk menunjukkan bahwa mereka melakukan sesuatu.
Sekarang orang-orang menghadiri konferensi yang terbuka untuk umum, untuk pertemuan sosial, untuk membangun hubungan, untuk saling mengenal, dan itulah kearifan dari hal itu. Ada konferensi-konferensi lain di mana para ulama berkumpul untuk mengeluarkan fatwa yang kita butuhkan sekarang ini, ulama dari berbagai latar belakang, mereka mengikuti mazhab pemikiran yang berbeda-beda dan berkumpul bersama selama beberapa hari, membawa penyelesaian siap-pakai yang mereka adopsi.
Apakah ada hal lain yang kadang-kadang bermanfaat? Poin terpenting yang disebutkan Mawlana adalah, ada dua elemen dalam Islam, dan tidak ada yang ketiga: yang ada hanyalah halal dan haram, untuk mengetahui, “Ini halal, ini haram, dan apa yang di antaranya adalah sesuatu yang lain.” Yang halal adalah haqq dan yang haram adalah batil. Apa yang haqq harus diterima dan apa yang batil harus ditinggalkan. Ini sebuah penjelasan. Jika kalian ingin berada di jalan tol yang haqq, kalian tidak bisa keluar dari Shiraat al-Mustaqiim, karena kalian akan jatuh ke dalam kebatilan. Jalan tol kedua adalah batil, yang jika kalian keluar darinya, kalian akan menuju haqq. Kalian disarankan untuk tidak keluar dari jalan tol haqq; malah, disarankan untuk keluar dari jalan tol batil dan menghancurkannya.
Jadi ketika para ulama bertemu – dan Mawlana Syekh secara khusus membuat poin ini – mereka harus memiliki satu opini, yakni opini haqq (kebenaran). Mungkin ada perbedaan dalam penjelasan mereka dan dalam pertemuan mereka, kalian mungkin melihat mereka saling menyerang pada berbagai pokok bahasan. Namun, signifikansinya adalah bahwa jika mereka berada dalam kebenaran (haqq), mereka tidak perlu saling menyerang, karena opini-opini harus didasarkan pada apa yang dicontohkan oleh Nabi (s). Jadi ilmu, pengetahuan, harus merupakan pengetahuan akan kebenaran (haqq), dan tidak ada yang lain!
الرَّحْمَنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ
Ar-Rahmaan `alam al-Qur'an.
(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Dia telah mengajarkan Al-Qur’an. (ar-Rahmaan, 55:1,2)
Allah yang mengajarkan. al-`Alim Huw Allah. Kita tidak bisa mengatakan yang ini atau yang itu orang ‘alim, karena ‘alim yang sebenarnya hanya didefinisikan oleh deskripsi Nabi (s):
علما امتي كانبيا بني اسرائيل
`ulamaa ummattii ka-anbiyaa Bani Israa`iil.
Para ulama dari umatku adalah seperti para nabi Bani Israa’iil. (Ihya)
العلماء ورثة الأنبياء
al-`ulamaa waratsat al-anbiyaa
Para ulama adalah pewaris para nabi. (Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan ibn Majah dalam kitab Sahih.)
Beliau mengangkat ulama begitu tinggi seperti para nabi Bani Israil. Itu artinya ulama harus sangat transparan (jernih) dalam pengetahuan mereka, sehinga mereka tidak akan takut pada siapa pun atau apa pun di Jalan Allah! Mereka harus menginjak ego mereka dan mengatakan kebenaran! Mereka tidak boleh takut kepada keluarga, masyarakat atau pemerintah mereka! Mereka harus berdiri dan bicara yang haqq, karena Kebenaran adalah Kebenaran!
Sayyidina `Umar (r) bertanya kepada Nabi (s), “Apakah kita berada dalam kebenaran atau tidak?” Beliau menjawab, “Ya.” Lalu Sayyidina `Umar (r) naik ke atap dan menyerukan azan.
Ketika Nabi (s) mengatakan para ulama adalah seperti Bani Israil, siapakah para ulama itu? Apakah mereka lulusan dari Harvard, Columbia Presbyterian atau Universitas Stanford, atau apakah istilah “ulama” bermakna sesuatu yang lain? Tentu saja!
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِي
wa innaka la `ala khuluqin `azhiim.
Sesungguhnya Engkau berbudi pekerti yang luhur. (al-Qalam, 68:4)
Ini berarti agar para ulama bisa menjadi seperti para nabi Bani Israil, kualifikasinya adalah mereka harus berbudi pekerti luhur. Artinya, mereka bukan ulama yang sudah menghafal buku-buku, karena Nabi (s) tidak menghafal buku apa pun; beliau buta huruf, yang menunjukkan kebesaran kedatangannya dengan Al-Qur’an Suci, dan bahwa Allah Huwa al-`Aliim, “Dia Yang Maha Mengetahui.” Jadi dengan budi pekerti luhur ini, Allah (swt) mengajarkannya al-Qur’an Suci.
Jadi Nabi (s) berkata:
أدبني ربي فأحسن تأديبي
adabanii rabbii fa-ahsana taa'diibii.
Allah meninggikanku dan menyempurnakan akhlakku.
Dan Allah membuatnya Muhammad al-Amiin, “Yang Dipercaya.” Dipercaya dengan apa? Beliau adalah Amiin al-Kawn, “Yang Dipercaya atas Ciptaan-Nya.” Beliaulah yang bertanggung jawab untuk semua makhluk yang Allah ciptakan. Beliau adalah “`AbdAllah,” yang Allah percayai karena Dia menyempurnakannya dan beliau rida menjadi `abd, hamba Allah, Penciptanya. Allah menaikkannya karena beliau amiin (dapat dipercaya).
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Qaala ij`alanii `alaa khazaa'in al-ardhi innii hafiizhan `aliim.
(Yusuf) berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan: Sesungguhnya aku sanggup memelihara dan berilmu.” (Yusuf, 12:55)
Sayyidina Yusuf (a) berkata kepada Raja Mesir, “Jadikan aku bendaharawan, yang dipercaya dengan kekayaan dunia.” Nabi (s) tidak berkata, “Jadikan aku orang yang dipercayai dengan kekayaan Dunia,” dan Allah (swt) mempercayakannya dengan kekayaan seluruh jagad raya, dengan mengatakan, “Karena engkau adalah al-Amiin, Aku mempercayakanmu dengan al-Qur’an Suci, yang merupakan rahasia dari Langit dan Bumi.”
Kita mengatakan seperti yang tertulis dalam al-Qur’an, “Alif Laam Miim,” atau, “Tha Ha,” “Ya Siin,” atau, “Qaf Haa Yaa,” atau, “`Ain Shaad.” Itu adalah huruf-huruf. Ketika Allah mengatakan, “Alif Laam Miim,” pasti itu ada artinya. Itu merupakan kode. Jika kalian membuka kode itu, kalian bisa melihat harta karun. Nabi (s) memiliki kunci bagi kode-kode ini, karena Allah mengirimkan al-Quran kepadanya dan memberinya kunci-kuncinya.
لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
law anzalnaa haadzaa al-Qur’ana `alaa jabalin la-ra'aytahu khaashi`aan mutasaddi`an min khashiyatillah.
Jika sekiranya Kami turunkan al-Qur’an kepada gunung, tentu akan kamu lihat ia tunduk karena takut kepada Allah. (Al-Hashr, 59:21)
Tapi Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi (s) dan beliau mampu membawanya, jadi beliau pasti berbudi pekerti luhur, dan dengan kondisi itulah Allah mempercayainya. Itu sebabnya Nabi (s) berkata, adaabanii rabbii wa ahsana taa'diibii, jadi ulama yang seperti para nabi Bani Israil adalah mereka yang Allah sebutkan:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
`alaa inna awliyaullahi laa khawfun `alayhim wa laa hum yahzanuun.
Ingatlah! Sesungguhnya para wali Allah tidak merasa takut dan tidak pula berduka cita. (al-Yunus,10:62)
Mereka adalah ulama-ulama saleh yang berjalan di jalan tol haqq, bukan jalan tol batil! Jadi akhlak yang baik adalah kunci untuk menjadi seorang alim dalam jejak langkah para nabi Bani Israil. Untuk mencapai keputusan, sebelum mereka belajar dan menghafal serta menjadi Doktor dan menyebut diri mereka doktor, para ulama harus memiliki adab al-kalaam, sopan santun dalam berbicara. Itu artinya mereka tidak saling menyerang, mengatakan yang ini telah melakukan bid’ah, yang itu kafir, yang itu mengikuti hal yang haram, dll. Ulama yang sesungguhnya haruslah orang-orang terbaik, orang-orang terhormat, afaadil an-naas, berbudi luhur dan adil. Jadi memiliki adab itu penting jika kalian sungguh ingin menjadi seorang alim dalam Islam, maka Allah (swt) akan membukakan kepada kalian dari al-ladunni `ilm, ilmu laduni atau pengetahuan surgawi. Bukti dari hal ini terdapat dalam al-Qur’an:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا
Fawajadaa `abdan min `ibaadinaa.
Kemudian mereka bertemu dengan seorang hamba Kami yang Kami beri rahmat dan Kami ajarkan pengetahuan. (al-Kahf: 18:65)
Jadi ketika Sayyidina Musa (a) ingin termasuk dalam orang-orang yang memiliki ilmu, ia harus bersabar, karena jika kalian tidak bersabar dengan apa yang kalian lihat di depan kalian, kalian tidak akan pernah meraih pengetahuan yang lebih tinggi. Jadi meskipun Sayyidina Musa (a) adalah termasuk Ulul al- ‘Azam, Lima Nabi Terbesar, dibandingkan dengan Rasulullah (s), ia tidak memiliki pengetahuan yang sama. Jadi adab dibutuhkan untuk ilmu; tanpanya ilmu tidak berarti.
Bukti dari hal ini terdapat dalam Surat al-Kahf, ketika Sayyidina Musa (a) bertemu dengan salah satu hamba Allah yang tingkat kesabarannya sangat tinggi, dan Musa (a) berkata, “Jika Allah berkehendak, kamu akan melihatku bersabar,” yang dijawab oleh Sayyidina Khidr (a), “Kamu tidak bisa, karena hal itu mustahil bagimu.”
Musa (s) berkata, “Tidak, ujilah aku.”
Khidr (a) menjawab dengan rendah hati, “Meskipun engkau adalah Musa, dari tingkat nabi-nabi yang tertinggi, engkau tidak akan bisa bersabar denganku karena aku telah dibusanai dengan adab dan aku diberikan ilmu untuk itu.”
Ketika Sayyidina Musa (a) takut kepada Fir’aun, Allah (swt) berkata:
قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
Qaala laa takhaafaa innanii ma`akumaa asma`u wa araa.
Allah berfirman, “Janganlah kamu takut, Aku besertamu. Aku mendengar dan melihat (segala sesuatu). (Tha Ha: 20:46)
Jadi di manakah bukti bahwa adabnya adalah alasan ia mendapatkan ilmu? Allah 'Azza wa Jall dengan indahnya mendeskripsikan pertemuan Sayiddina Musa (a) dengan Sayyidina Khidr (a):
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًاقَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
fawajadaa `abdan min `ibaadinaa aataynaahu rahmatan min `indina wa `allamnaahu min ladunnaa `ilmaa. Qaala lahu Musaa hal attabi`uka `alaa an tu`alimmanii mimma `ullimta rusyda? Qaala innaka lan tastathi`a ma`iya shabraa.
Kemudian mereka bertemu dengan seorang hamba Kami yang kepadanya telah Kami berikan rahmat dan Kami ajarkan pengetahuan dari Hadirat Kami. Musa berkata kepadanya, ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau ajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang diajarkan Tuhan kepadamu?” Yang lain berkata, ‘Engkau tidak akan sabar ikut bersamaku.’” (al-Kahf, 18:65-67)
Rahmat itu adalah Rasulullah (s), Rahmatan lil-`Alamiin, “Rahmat bagi seluruh alam,” dan juga al-Rahmat al-Muhdaat, “Yang Dikaruniai Rahmat bagi Kemanusiaan.” Jadi artinya Khidr (a), sang hamba Allah, dibusanai dari rahmat itu. Tingkat rahmat tertinggi adalah diberikan adab, akhlak yang baik; karenanya, untuk diberikan adab kalian harus berada di bawah rahmat. Kalian tidak akan bisa berada di bawah rahmat jika kalian adalah pencuri, pembohong, atau lebih buruk. Tetapi mereka yang berada di jalan tol Shiraat al-Mustaqiim, akan dibusanai dengan adab yang berasal dari Rasulullah (s), yang berarti, “Jika Aku merahmatimu, Aku akan mengajarkanmu adab yang lebih tinggi.” Itu sebabnya adab, akhlak tertinggi, diajarkan di sekolah-sekolah, yang mereka klaim bukan berasal dari agama; namun, realitas akhlak adalah dari agama, dari Nabi Nuh, Musa, Ibrahim, Isa, atau Nabi Muhammad (s).
Ketika Qabil datang untuk membunuh Habil, Habil berkata, “Jika kamu menjulurkan tanganmu untuk membunuhku, aku tidak akan menjulurkan tanganku untuk membunuhmu.” Itu adalah adab, dan syahaama, kekesatriaan. “Aku tidak akan menjulurkan tanganku untuk membunuhmu karena kau adalah saudaraku,” jadi Qabil membunuhnya. Mereka yang punya adab, dibusanai oleh Nabi (s) dan, karenanya, mereka seperti para nabi Bani Israil, yang dibusanai oleh Rasulullah (s) dengan budi pekerti luhur dan rahasia-rahasia.
Jika kita memeriksa definisi rata-rata “ulama,” setiap orang adalah alim hingga ke tingkat pengetahuannya, tetapi dalam Islam hal itu tidak memenuhi persyaratan menjadi seorang alim. Berkenaan dengan ulama saat ini, yang belajar di universitas-universitas, Mawlana Syekh Nazim (q) mengatakan agar mereka memiliki adab dahulu lalu belajar, maka kalian akan mencapai ilmu tingkat tinggi, yang hanya bisa kalian dapatkan dari Rasulullah (s); maka kalian akan dianggap seorang yang alim. Jika tidak, siapa pun dan setiap orang merupakan seorang alim; misalnya, seorang anak yang bisa mendapatkan SIM, maka ia adalah seorang alim dalam mengemudi!
Kita meminta kepada Allah untuk membawa kita dari kegelapan menuju Cahaya-Nya, “Wahai Tuhan, Yang membawa dari kegelapan kepada cahaya!”
Semoga Allah mengampuni kita dan mengampuni semuanya.
Wa min Allahi 't-tawfiiq, bi hurmati 'l-habiib, bi hurmati 'l-Fatihah.