30 Juli 2011 Burton, Michigan
`Ashar di Masjid As-Siddiq
A`uudzu bil lahi min asy-Syaythaani ‘r-rajim. Bismillahi 'r-Rahmaani 'r-Rahiim.
Nawaytu 'l-arba`iin, nawaytu 'l-`itikaaf, nawaytu 'l-khalwah, nawaytu 'l-`uzlah,
nawaytu 'r-riyaadhah, nawaytu 's-suluuk, lillahi ta`ala fii haadza 'l-masjid.
Kalimataan khafiifataan `ala al-lisaan tsaqiilataan fi’l-miizaan. SubhaanAllah wa bihamdihi subhaanAllahi ’l-`azhiim astaghfirullah.
Dengan syafaat, perantaraan dari Nabi (s), kita memohon agar Allah (swt) mengampuni kita. Allah berfirman di dalam kitab suci Al-Qur'an:
وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقًا
wa law istiqaamuu `ala at-thariiqati la-asqaynaahum maa’an ghadaqa.
Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak). (Surat al-Jinn, 72:16)
Itu artinya, “Jika mereka mau istikamah di Jalan ini, Kami akan menyirami mereka dengan hujan yang lebat, kadang-kadang hujan turun dengan lebat, Kami kirimkan mereka Rahmat Kami; Aku akan membuat mereka menjadi malaikat, Aku akan menjadikan mereka awliyaaullah, Aku akan menjadikan mereka ahbaabii, Kekasih-Kekasih-Ku.”
Orang datang dari mana-mana mencari kecintaan Allah dan dukungan para syuyukh kita; tidak ada yang lain. Mereka mengorbankan waktu bersama anak-anak dan keluarga mereka, dan sebagian lagi membawa keluarganya bersama mereka. Tetapi Allah Maha Pemurah dan Dia mengetahui mengapa setiap orang datang. Tidak ada yang datang untuk dunia; semuanya datang untuk akhirat.
Allah (swt) memberi setiap orang sesuatu yang tidak diberikan kepada orang lain, sebagaimana Allah memberikan setiap nabi, sesuatu yang tidak diberikan kepada yang lain, tetapi Dia memberi kepada satu lebih banyak daripada yang Dia berikan kepada yang lain. Jika kalian menjumlahkan segala sesuatu yang diterima oleh nabi-nabi lainnya, niscaya jumlahnya tidak akan lebih dari setetes dalam samudra Sayyidina Muhammad (s)! Itulah sebabnya di dalam jama`ah, di dalam kelompok, Allah selalu memberikan sesuatu yang istimewa, tetapi akan ada satu yang bahkan jika kalian menjumlahkan semua yang diperoleh oleh yang lainnya, jumlahnya tidak akan lebih dari setetes di dalam samudranya. Contohnya adalah lebah: ratu lebah adalah satu-satunya di dalam kelompoknya, dan Allah memberinya suatu keistimewaan melebihi lebah lainnya. Jika tidak ada ratu, maka tidak ada madu; tidak ada apa-apa. Walaupun setiap lebah mempunyai sesuatu yang berbeda dengan lebah-lebah lainnya, mereka hanya bisa menghasilkan lebah karena ratu mereka, dialah yang diberikan kelebihan oleh Allah dibandingkan dengan yang diberikan-Nya kepada lebah lainnya. Dia memang harus menjadi yang satu itu, tidak bisa ada dua yang mempunyai level yang sama, tetapi untuk rahmat, bisa ada dua atau tiga rahmat yang akan dibagikan kepada mereka. Namun demikian, harus ada satu ratu yang menarik semua lebah lainnya, dan inilah yang kita sebut tuan, atau syekh.
Laa bud min mursyidin hissii. Tidak ada jalan lain, kecuali dengan mempunyai seorang mursyid, seorang mursyid yang bukan hanya secara spiritual tetapi kalian juga harus melihatnya; ia harus ada secara fisik. Kalian tidak bisa berkata, “Aku terhubung dengan guruku yang berada di dalam kubur.” Di dalam kubur, itu sudah berakhir. Kalian memerlukan seseorang yang hissii, “syekh yang masih hidup,” seseorang yang mewarisi dari Nabi (s) apa-apa yang diperlukan untuk muridnya, karena setiap murid, setiap orang dari ummat an-Nabi (s) mempunyai kabel dari kalbunya kepada kalbu Nabi (s). Jika kabel itu terganggu di suatu tempat, kalian tidak akan mendapatkan aliran informasi: itu harus berupa sambungan langsung dengan Nabi (s).
Jangan berpikir bahwa itu mustahil. Nabi (s) menyebutkan di dalam hadisnya: ”Aku mengamati amal dari umatku.” Jika tidak ada sambungan, bagaimana beliau bisa mengamati? Kini ada level teknologi yang lebih tinggi lagi di mana mereka tidak memerlukan kabel untuk tersambung. Teknologi itu adalah nirkabel dan ia sanggup menarik lebih banyak dan lebih banyak lagi dari gelombang elektromagnetik yang merambat. Juga melalui telepati mereka bisa menjangkau lebih banyak dan banyak lagi. Itulah sebabnya awliyaaullah sanggup mencapai semua murid mereka tetapi murid-murid itu tidak bisa menjangkau murid lainnya, hanya kepada syekhnya mereka bisa. Syekh mempunyai jejaring nirkabel dan di mana pun ia berada, di sana ada WiFi surgawi yang dapat menjangkaunya dan melalui WiFi tersebut ia menjangkau Nabi (s) dan mempersembahkan semua muridnya. Jika manusia dapat menjangkau melalui sebuah WiFi, mengapa seorang wali tidak bisa menjangkau dengan WiFi surgawi?
Wa kullun min rasuulullahi multamisun, “Mereka semua mengambil dari Nabi (s).” Itu artinya, semua awliyaullah, semua anbiyaullah, dan semua ciptaan pasti mempunyai bagian dari “pengambilan” tersebut, di mana mereka mengambil sesuatu. Kadang-kadang mereka mempunyai kabel, dan di dalamnya ada sebuah selubung besar yang berisi ribuan kabel kecil. Itu tergantung pada kapasitas wali itu, berapa banyak kabel yang dapat ia bawa. Seorang sultan al-awliya tidak memerlukan kabel karena ia mampu menjangkau tajali surgawi dan mempunyai WiFi surgawi yang dengannya ia selalu dapat menjangkau dan mendapatkan informasi.
Allah (swt) berfirman:
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Wa min kulli syayin khalaqnaa zawjayn la`allakum tadzakkaruun.
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan; supaya kamu mengingat (kebesaran Allah). (adz-Dzaariyat, 51:49)
SubhaanAllah. Ayat ini, “Segala sesuatu Kami ciptakan dua,” artinya dari setiap syay, “segala sesuatu, Kami ciptakan dua.” Allah (swt) tidak mengatakan “satu,” Dia berkata, “dua.” Bukannya laki-laki dan perempuan, lupakan itu; ada ayat lain untuk itu; tetapi Dia mengatakan, “Segala sesuatu Kami ciptakan dua.” Artinya kalian ada dua, Dia ada dua, kita mempunyai dua Sahib, ada dua Ali: kita mempunyai satu yang asli dan satu tiruannya, satu yang asli dan satu gambarannya. Jadi awliyaullah ketika mereka ingin melihat dan mengetahui realitas kalian, mereka tidak melihat pada kalian, karena kalian adalah gambaran; seperti ketika melihat di cermin: apa yang kalian lihat di sana? Kalian melihat diri kalian sendiri. Kalian bergerak ke kanan, ia bergerak ke kiri; kalian bergerak ke kiri, ia bergerak ke kanan. Kalian tidak melihatnya? Jadi, ketika mereka ingin melihat, mereka tidak melihat pada cermin untuk melihat gambar kalian, mereka tidak mempunyai urusan apa-apa dengan gambaran kalian. Mereka melihat pada kalian….di luar kotak, bukannya di dalam kotak. Kita berada di dalam kotak; dan ketika kita ke luar dari kotak kita akan menemukan realitas dan ketika kita masuk ke dalam kotak, kita akan menemukan gambar-gambar/bayangan.
Jadi, itulah sebabnya Imam Ghazali (r) berkata, “Ketika kamu mati, saat itu kamu akan mengetahui realitasmu, kamu akan bangkit karena kamu meninggalkan bayanganmu.” Dunia ini adalah bayangan, realitas berada di luar dunia—di akhirat. Jadi ketika kalian meninggalkan dunia—kotak itu—kalian mencapai realitas. Allah (swt) berfirman, “Segala sesuatu Kami ciptakan dua.” Ketika awliyaullah melihat, sebagaimana Grandsyekh, semoga Allah memberkati jiwanya dan Mawlana Syekh Nazim, semoga Allah memanjangkan umurnya berkata, “Setiap orang mempunyai realitas, realitas itu adalah bintang di alam semesta ini, besar atau kecil, itu tergantung pada realitas orang tersebut.”
Kehendak Allah menciptakan realitas dan menciptakan gambarannya, dan Allah memerintahkan gambar-gambar ini, seperti sebuah bayangan, mengikuti bentuk aslinya. Ketika kalian berdiri di bawah matahari, matahari menghadap kalian, kalian akan melihat bayangan kalian; di sana ada realitas dan ada bayangannya. Dengan hikmah dan kehendak Allah, Dia membuat bayangan bergerak sendiri melalui iraadatan ju`ziyya, sebuah bagian dari kehendak, kehendak yang terbatas, tetapi kehendak sejatinya ada bersama realitasnya yang mengendalikan kedekatan dan kehadiran kalian di dalam Hadirat Ilahi.
Realitas tidak bisa menjadi tudannas, ia tidak bisa melakukan sebuah dosa dan tidak bisa melakukan sesuatu yang kotor; itu mustahil. Ia selalu murni dan suci, dan selalu berada di Hadirat Allah, mengagungkan Allah (swt). Dan Allah telah mengajarkan kita bagaimana cara mengagungkan-Nya, yaitu melalui surat pertama di dalam Kitab Suci al-Qur’an:
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Alhamdulillahi rabbi'l-`alamiin
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. (al-Fatihah, 1:1)
Allah memuji Diri-Nya sendiri oleh Diri-Nya sendiri, untuk Diri-Nya sendiri, dengan mengucapkan, “Alhamdulillah.” Itu artinya, “Wahai hamba-Ku! Ucapkanlah ‘alhamdulillah!’” Setiap saat realitas kita mengucapkan, “alhamdulillah” di Hadirat Allah, dan oleh karena itu realitas selalu bersih. Itulah sebabnya Nabi (s) bersabda:
يولد الانسان على الفطرة وانما ابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه
yuulidu al-insaanu `ala ‘l-fitra fa imma abbawaahu yuhawwidaanihi aw yunasaraanihi aw yumajjisaanih.
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci; orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi atau Kristen atau Penyembah Api.
Dia tidak mengatakan, “Orang tuanya menjadikannya Muslim,” karena Allah (swt) telah menciptakannya sebagai Muslim; ia diciptakan dalam keadaan bersih. Jadi itu artinya realitas parsial dari bayangannya bergerak dengan arah yang berbeda di dalam kehidupan imajinernya. Ini adalah kehidupan yang imajiner, ini akan berakhir. Dapatkah seseorang mengatakan, “Aku tidak akan mati” atau, “Aku akan hidup selamanya.” Jika ya, tunjukkan kekuatan kalian: pergilah ke pemakaman dan bangunkan semua orang! Kalian bisa? Jadi bayangan itu bertindak di dunia, tetapi realitasnya bersih. Jadi kita memerlukan mursyidin hissii, kita memerlukan seorang mursyid, bukannya seseorang yang mengaku dirinya ‘mursyid.’ Tidak mudah untuk menjadi seorang mursyid, itu adalah karunia Allah (swt). Seorang mursyid harus memenuhi spesifikasi tertentu yang harus diemban, dan spesifikasi ini bukan karena kalian pintar, tetapi itu adalah karunia Allah.
Laa bud min mursyidin hissii. Kalian harus memiliki seorang mursyid secara fisik yang dapat membawa kalian dan semua bayangan kalian yang akan melakukan kesalahan untuk kembali kepada realitas kalian; untuk memastikan bahwa realitas kalian selalu memuji Allah (swt), dengan mengucapkan, “alhamdulillah.” Ketika kalian mengucapkan, “alhamdulillah,” Allah senang dengan kalian! Itulah sebabnya Surat al-Fatihah dibaca pada setiap rakaat salat, karena tanpa membaca “alhamdulillah” salat itu menjadi tidak sah. Kalian tidak bisa memulainya dengan membaca “rabbil-`alamiin” tanpa “alhamdulillah;” kalian harus membaca Surat al-Fatihah sejak awal hingga akhir, yang semuanya adalah memuji Allah (swt). Jadi kita memerlukan seorang mursyid!
Ada seorang wali yang selalu dalam keadaan wangi, sebagaimana yang diceritakan oleh Grandsyekh (q) dan Mawlana Syekh, semoga Allah memanjangkan umurnya. Kisah ini bukannya rekaan, tetapi sungguh terjadi, karena awliyaullah yanzhuruuna bi nuurillah, mereka dapat melihat melalui Cahaya Ilahi, apa yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, dan di masa yang akan datang. Ada seorang wali yang meskipun ia tidak pernah mandi dan selalu berkeringat, namun wanginya harum. Ke mana pun ia pergi, wangi semerbak itu sampai ke mana-mana. Salah satu muridnya mempunyai keraguan, sekarang banyak orang yang mempunyai keraguan. Ia berkata, “Sungguh aneh bahwa ke mana pun ia pergi ia selalu mempunyai wangi yang harum. Parfum apa yang ia gunakan?” Kemudian datanglah hidayah ke dalam kalbunya; Allah membukakan kalbunya. Ia berkata, “Hari ini aku akan memastikan bahwa aku hadir di pagi hari ketika syekhku bangun, dan aku akan membawakan air untuk wudunya dan aku akan melihat apa yang akan ia lakukan.”
Jadi Syekh pergi keluar untuk buang air, dan ia tidak bisa melakukannya di depan orang, jadi ia pergi menuruni tebing, turun ke tempat di mana tak ada orang yang dapat melihatnya, karena pada saat itu mereka belum mempunyai kamar mandi seperti sekarang ini, tidak ada kamar mandi, di lapangan; ia pergi ke bawah, dan satu menit kemudian ia kembali. Murid itu meletakkan air agar syekhnya dapat berwudu dan ia mencium wangi yang harum, lalu syekhnya berkata, “Ayo ikuti aku.” Murid itu tidak mau mengikuti syekh, ia penasaran ingin melihat ada apa di sana. Ia menemukan tiga butir apa yang setiap orang meninggalkannya di toilet, tiga butir yang sangat kecil. Ia berkata, “Masyaa-Allah, apa ini?” Kemarin Syekh memakan seekor ayam utuh dan sekarang hanya ada tiga butiran kecil dengan wangi yang sangat harum dan tidak pernah ada wangi seperti itu sebelumnya. Ia lalu mengambilnya dan meletakkannya di dalam turbannya. Dan ke mana pun ia pergi, wangi musk itu keluar dari turbannya. Meskipun dalam pandangan Syari’ah hal itu tidak dapat diterima, tetapi ini adalah untuk mengajarkan kepada kita bahwa seorang mursyid bukanlah orang yang meninggalkan bau busuk di belakangnya, seorang mursyid adalah orang yang hanya meninggalkan wangi yang harum. Itulah mursyid yang kita perlukan, dan alhamdulillah bahwa Allah Maha Besar dan dapat memberikan kita mursyid seperti itu.
Sayyidina Abdul Qadir Jilani (r) berkata, ayyuhal walad, “Ketahuilah wahai anak kecil!” Apa yang dimaksud dengan “anak kecil”? Sayyidina Abdul Qadir Jilani memanggil seseorang yang berusia lima puluh tahun dengan sebutan “anak”. Ia tidak peduli apakah kalian berusia lima puluh tahun, atau apakah kalian mempunyai janggut pendek atau panjang atau turban besar atau kecil, kalian adalah anak kecil. Kalian belum mencapai realitas kalian, maka kalian adalah anak-anak. Jadi apa yang beliau katakan? “Semoga Allah memberi kenikmatan pada kalian dengan Jalan yang Lurus.” Tanpa Jalan yang Lurus, kalian bukan apa-apa, kalian adalah anak-anak. Kalian ingin menjadi seorang yang dewasa? Mencapai kedewasaan, baik pria maupun wanita? Untuk memikul tanggung jawab, artinya kalian harus berada di Jalan yang Lurus, Shirath al-Mustaqiim. Jika kalian tidak berada di Jalan yang Lurus, berarti kalian masih anak-anak.
Itulah sebabnya Nabi (s) bersabda, `alam ayyuhal walad, “Wahai anak kecil, engkau harus tahu bahwa langkah pertama di dalam Jalan menuju Makrifatullah adalah istiqaamah.” Tidak ada istikamah, kalian tidak bisa mendapat apa-apa. Ketika kalian mempunyai istikamah, apa yang Nabi (s) katakan? “Para ulama adalah para pewaris anbiya.” Para ulama, ‘alim—bukan ulama biasa yang dapat dibeli. Mereka adalah ulama-ulama akademis, yang ilmunya berasal dari kertas-kertas. Tetapi bagi ilmu kalbu, hanya awliyaullah, ulama yang digambarkan oleh Nabi (s) sebagai `alimun `aamil, seorang alim yang mengamalkan apa yang ia pelajari. Jadi, bila kalian berada di Jalan yang Lurus, Allah akan menjadikan kalian sebagai ulama yang mewarisi dari nabi-nabi.
Al ‘ulama warasatul anbiya. Para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Apakah yang menjadi pintu untuk itu? Itu adalah istikamah. Istikamah artinya, “kalian tidak bisa menyimpang.” Jika kalian menyimpang, apa yang harus kalian lakukan? Tobat! Memohon ampun, segera. Barulah Allah (swt) akan menerima dari kalian. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita adalah maksum, bersih dari dosa, hanya nabi-nabi yang seperti itu. Jadi karena kita tidak maksum—jangan katakan bahwa seorang syekh tidak melakukan dosa, jangan, itu tidak benar. Sayyidina Ibrahim (a) adalah maksum, dan beliau adalah seorang nabi. Meskipun ketika orang-orang bertanya kepadanya, “Siapa yang memenggal leher berhala-berhala ini?” Beliau berkata, “Aku tidak tahu,” meskipun beliau yang memenggalnya, beliau tidak akan dihakimi untuk itu. Dan saudara-saudara Sayyidina Yusuf (a) yang melemparkan beliau ke dalam sumur, mereka semua adalah nabi; karena hikmah Allah (swt) yang menginginkan Sayyidina Yusuf (a) untuk berada di dalam sumur itu. Allah ingin mengajari ayahnya, Sayyidina Yaqub (a) suatu pelajaran. Jadi Sayyidina Yaqub (a) berada di dalam sebuah ujian yang besar dari Allah (swt). Kita dapat membahasnya lebih dalam nanti insya Allah.
Jadi para ulama tidaklah maksum, mereka melakukan dosa, tetapi mereka bertobat. Jangan katakan, “Oh, wali itu tidak berdosa.” Tidak, ia mungkin membuat kesalahan, tetapi niatnya baik dan ia tidak bermaksud melakukannya. Tetapi itu terjadi, apa yang dapat ia katakan? Itu adalah amrullah, Kehendak Allah yang harus terjadi. Jadi ia telah diatur oleh para malaikat untuk jatuh dan berkata kepada dirinya, “Wahai diriku! Engkau kotor.” Allah membuat para awliyaullah terjatuh, melakukan suatu kesalahan untuk memperlihatkan kepada mereka:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ
fa laa tuzakhuu anfusakum.
Oleh sebab itu, janganlah mengatakan dirimu suci. (Surat al-Najm, 53:32)
“Jangan memuji atau mengagungkan dirimu sendiri.” Allah (swt) membuat para awliya-Nya terjatuh di dalam kesalahan untuk mengingatkan mereka bahwa mereka melakukan suatu kesalahan di dalam hidup mereka dan mereka terus memohon ampunan. Ada makna yang besar di sini. Ada sesuatu yang harus kita rasakan. Misalnya, ketika seseorang berbuat dosa, ia merasakan dosa itu dan kemudian akan menyesalinya sepanjang hidupnya. Akar kata dari insaan, “manusia,” berasal dari kata nisyaan, “pelupa.” Jika insaan tidak lupa, sepanjang hidupnya ia akan berada dalam depresi karena dosa-dosanya, jadi Allah membuatnya lupa. Ia bertobat dan perbuatan buruk itu hilang karena Allah mengampuninya, ia bertobat dan Allah mengampuninya dan Allah membuatnya melupakan hal itu. Tetapi wali tidak pelupa. Seorang wali yang berada di Shirath al-Mustaqiim, Jalan yang Lurus kemudian ia terjatuh ke arah kanan atau ke kiri, ia tidak akan melupakannya, sehingga ia akan terus meminta pengampunan, pengampunan, pengampunan. Kita memerlukan mursyid semacam itu; itulah mursyid yang harus kalian temukan karena tidak semua orang yang mengaku sebagai syekh itu adalah mursyid. Firaun, ia mengaku sebagai apa? Karena arogan, ia berkata, “Setiap orang berada di bawahku, aku adalah Tuhanmu, aku adalah penciptamu.” Karena ia bangga dengan dirinya sendiri, arogan, ia menjadi lupa siapa dirinya.
Juga Allah (swt) berfirman kepada Sayyidina `Isa (a):
يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنتَ قُلتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَـهَيْنِ مِن دُونِ اللّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ
Yaa `iisá 'bna maryama a'anta qulta li '-naasi attakhidzuunii wa ummiya ilahayni min duunillahi qaala subĥaanaka maa yakuunu lii an aquula maa laysa lee biĥaqqin in kuntu qultuhu faqad `alimtahu ta`lamu maa fii nafsii wa laa a`lamu maa fii nafsika innaka anta `allaamu al-ghuyuub.
Wahai `Isa, putra Maryam! Adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib." (Al-Ma'idah 5:116)
Allah bertanya, menegaskan kepadanya, Allah ingin membuatnya merasakan tekanan itu. Apakah Allah tahu? Tahu! “Yaa `Isa! Apakah engkau mengatakan kepada kaum Hawariyuun, attakhidzuunii ilahayni min duunillah, ‘Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah.’” Apakah Allah (swt) tidak mengetahui bahwa Sayyidina ‘Isa tidak mengatakan hal itu? Tentu saja Allah (swt) mengetahui kebenaran hal ini tetapi Dia ingin menempatkan Sayyidina `Isa (a) di bawah tekanan. “Kau, bela dirimu sendiri!” Sayyidina `Isa (a) berkata, “Jika aku mengatakannya, Engkau Maha Mengetahuinya karena Engkau mengetahui apa yang ada di dalam diriku, tetapi aku tidak tahu apa yang ada di dalam Diri-Mu.” Kemudian Allah memberikan ayat lain lagi untuk menjatuhkannya lebih dalam lagi. Ketika Allah (swt) berfirman, “Bagaimana orang-orang mengikuti dan mengatakan bahwa Sayyidina ‘Isa adalah tuhan dan ibunya juga tuhan, padahal mereka memakan makanan (artinya mereka akan menggunakan toilet).” Lihatlah bagaimana Allah menekannya lebih dalam. “Engkau tidak mengklaim!” Sayyidina ‘Isa tidak pernah mengklaim hal itu, tetapi Allah mengajarkan kepada kita, “Aku tidak peduli, nabi atau bukan nabi, mereka semua adalah hamba-Ku.” “Engkau masuk ke toilet, bagaimana mungkin engkau mengklaim sebagai tuhan, jika engkau masih masuk ke toilet. Bagaimana orang menerimamu sebagai tuhan jika engkau masih menggunakan toilet?” Haasya, Haasya lillah. Semoga Allah mengampuni kita.
Jadi, Allah ingin agar awliya-Nya melakukan sesuatu, jadi Dia mengaturnya sedemikian rupa sehingga mereka terdorong dan tidak bisa menghindarinya. Lalu…“Oh, engkau melakukan kesalahan. Hati-hati, jangan ulangi lagi nanti.” Tubna wa raja`na, Yaa Rabbii, astaghfirullah. Allah menghapusnya. Ok, lupakan hal itu.
Jadi kita memerlukan seorang mursyid semacam itu, bukannya orang yang mengaku sebagai mursyid. Banyak orang yang mengaku begitu. Firaun mengaku, “Aku adalah Allah!” Jadi, apakah kita menerima begitu saja pengakuan itu? Jika seseorang mengaku bahwa ia adalah seorang syekh, berikan buktinya. Bukti bahwa engkau adalah syekh. Bahwa engkau adalah seorang pemandu yang memenuhi syarat.
Kami telah menerangkan empat level mursyid yang diklasifikasikan oleh Grandsyekh dan menerangkannya secara mendetail. Kami telah menerbitkan sebuah buku mengenai hal itu, Who are the Guides? (Siapakah Mursyid itu?) (tersedia di http://www.isn1.net/Who-are-the-Guides-p/bk-
whoaretheguides.htm)
Ada empat level syekh. Syekh ul-tazkiyyah, syekh ul-tasfiyyah, syekh ul-jazbah, syekh ul-irsyad, empat macam syekh yang berbeda. Mursyid seperti itu membawa seluruh alam semesta di pundak mereka dan mereka berkata, “Wahai Tuhan kami! Berikanlah kami lebih banyak, kami akan membawanya.” Membawa dosa-dosa manusia, dan mereka berkata, “Berikan kami lebih banyak, dan kami akan membawanya.” Mereka tidak seperti para penipu yang mengaku sebagai syekh. Semoga Allah (swt) mengampuni kita, insya Allah setelah Subuh kita lanjutkan.
Wa min Allah at-tawfiiq, bi hurmati 'l-habiib, bi hurmati 'l-Fatihah. taqqabalallaah