Go to media page Available in: English   Bahasa  

Allah (swt) adalah Pembela Sayyidina Muhammad (s)!

Mawlana Syekh Hisyam Kabbani

21 September 2012 Singapoura

Pra-Khotbah di Masjid Abdul Ghafoor

Wahai saudara-saudari Muslim, jika ada saudari-saudari di sini, tetapi saya yakin mereka tidak ada. Kita memohon kepada Allah agar Dia senantiasa menjaga kita dari fitnah, dari kebingungan dan agar Dia senantiasa membuat kita hidup dengan bahagia di negeri yang segala sesuatunya aman dan produktif ini. Dari pengalaman saya berkunjung ke sini sejak 1987 dan dari perjalanan saya ke seluruh dunia, saya tidak pernah menemukan negeri lain yang sedamai di sini, di mana tidak ada sakit kepala dan segala sesuatu berjalan dengan baik.

Kita mempunyai tugas untuk berbaur di dalam masyarakat, dan Islam ingin agar kita bersatu, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُُ

Inna ad-diina `inda Allaahi al-Islaam.

Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam (patuh pada Kehendak-Nya). (Surat Aali-`Imraan, 3:19)

Ini artinya Dia ingin agar kita semua mendapatkan pencerahan, menjadi terpelajar dan dapat menerangkan kepada orang lain mengenai realitas dari Islam. Apakah Islam itu? Jika kalian bertanya pada seseorang, mereka akan mengatakan bahwa Islam adalah lima pilar/rukun, yaitu menyatakan Syahadat, salat, berpuasa, membayar zakat, dan pergi Haji, itu adalah strukturnya, yang tanpanya masjid ini akan runtuh. Jadi Islam adalah strukturnya.

Tetapi Sayyidina Jibriil (a) datang dan bertanya kepada Nabi (s), “Yaa Rasuulullah! Apakah iman itu?” Jadi kita harus berhati-hati, karena ia tidak berhenti sampai Islam saja. Iman adalah bagian dari agama Islam, dan Nabi (s) kemudian mengatakan kepadanya mengenai keenam Rukun Iman. Kemudian ia bertanya lagi, “Apakah ihsaan, yaa Rasuulullah?” Kita harus memperhatikannya juga, karena jika kelima pilar itu sudah cukup, maka Jibriil (a) tidak akan bertanya tentang Iman dan Ihsan. Setelah Nabi (s) menjelaskan tentang Ihsan, Jibril (a) tidak bertanya lagi. Tetapi kebanyakan Muslim hanya fokus pada Rukun Islam yang lima saja tanpa menyempurnakan akidah mereka yang berasal dari Iman, dan tidak pula meningkatkan adab kita, yang berasal dari Maqaam al-Ihsaan, sebagaimana Nabi (s) menggambarkannya di dalam hadis:

أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك

An ta`bud Allah ka'annaka taraahu, fa in lam takun taraahu fa innahu yaraak.

Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Dia selalu melihatmu. (Bukhari)

Di sini Nabi (s) mengatakan kepada kita, “Wahai orang-orang yang beriman! Ketika kalian mengucapkan, ‘Allahu Akbar’ dan memasuki salat kalian, kalian harus menyadari bahwa Allah (swt) mengamati kalian, jadi kalian tidak sendiri dan bebas.” Segera setelah kalian mengucapkan, “Allahu Akbar” dan memulai salat, kalian akan berada di bawah timbangan berlevel sangat tinggi, bukannya timbangan biasa yang digunakan untuk menimbang pisang atau kentang, tetapi timbangan yang sangat sensitif, sangat teliti yang digunakan oleh ahli permata, (yang akan mengukur) segala gosip, pikiran buruk atau hal-hal duniawi lainnya yang masuk ke dalam pikiran kalian. Tak seorang pun dapat menyangkal hal ini dan mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang memasuki pikirannya selama salat, karena kita semua mengalami hal ini! Segera setelah kita mengucapkan, “Allahu Akbar,” Iblis segera berlari bersama bala tentaranya untuk merusak salat kita.

Nabi (s) mengangkat para Sahabat (r) agar mereka menjadi sempurna. Kita harus mengakui bahwa kita tidak bisa seperti mereka, tidak pula kita dapat disebut “Sahaabah,” kita harus mengakuinya, tetapi kita berasal dari umat terakhir, di mana Nabi (s) bersabda,

افضل الامة اخر الامة اخير الامة

Afdhal al-ummah aakhir al-ummah akhyar al-ummah.

Umat yang paling afdal/lebih utama adalah umat terakhir.

Suatu ketika Nabi (s) bertanya pada Sahabatnya (r), “Siapakah di antara semua makhluk yang imannya paling kuat?” Para Sahabat (r) menjawab, “Malaikat yang imannya terbaik.” Beliau (s) berkata, “Bagaimana malaikat tidak mempunyai iman yang kuat, bila mereka beribadah di Surga dan melihat segalanya?” Jadi Nabi (s) bertanya lagi, “Siapa yang imannya paling kuat?” dan para Sahabat (r) menjawab, “Para anbiya!” Nabi (s) berkata, “Bagaimana para anbiya tidak mempunyai iman yang kuat bila Jibril (a) datang kepada mereka dengan membawa wahyu, risalah dari Allah (swt)?” Akhirnya para Sahabat (r) berkata, “Kalau begitu para Sahabatmu, yaa Rasuulallah (s)!” dan Nabi (s) berkata, “Bagaimana mungkin kalian tidak mempunyai iman yang baik bila aku berada di antara kalian dan kalian melihatku menerima wahyu? Ada yang lain yang imannya lebih kuat.” Para Sahabat (r) bertanya, “Siapakah mereka ini yaa Rasuulallah(s)? dan Nabi (s) menjawab, “Ada sekelompok orang yang akan datang di akhir zaman, mereka tidak melihatku tetapi mereka tetap percaya kepadaku. Sungguh, mereka itu adalah saudaraku.” (Sahih Bukhari)

Allah (swt) memberi kita derajat sebagai saudaranya Nabi (s), itu adalah derajat yang sangat mulia, di mana kita percaya kepadanya, percaya kepada Qur’an, dan Risalahnya tanpa bertemu dengan Sayyidina Muhammad (s). Untuk inilah Nabi (s) menginginkan agar kita mengangkat (derajat) diri kita dengan ihsan, sebagaimana yang sering beliau tekankan:

أدبني ربي فأحسن تأديبي

Adabanii rabbii fa’ahsana taa'diibii.

Tuhanku telah mendidikku sehingga menjadi baik adabku.

“Allah mengajariku disiplin, adab, dan Dia menyempurnakan adabku.” Sekarang muncul pertanyaan, apakah Nabi (s) perlu diajari disiplin bila beliau (s) adalah Orang Yang Paling Sempurna di antara seluruh makhluk dan beliau dikaruniai akhlak yang sempurna, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an? Tidak, sebagaimana Allah (swt) berfirman, “Akhlakmu tertinggi, terbaik, wahai Muhammad (s),”

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِي

Wa innaka la-`alaa khuluqin `azhiim.

Dan sesungguhnya engkau berbudi pekerti yang agung. (Surat al-Qalam, 68:4)

Jadi Nabi (s) mempunyai Realitas Ihsan. Itu sudah lengkap di dalam dirinya ,tetapi ketika beliau (s) mengatakan, adabanii rabbii fa-ahsana ta'diibii, “Allah mengajariku disiplin dan Dia menyempurnakan adabku,” itu artinya, “Aku ingin agar umatku disempernakan melalui diriku! Yaa Rabbii, sempurnakanlah umat itu, yang merupakan saudaraku, yang percaya kepadaku meskipun mereka tidak melihatku.”

Kehormatan kita berasal dari sini! Kehormatan ini datang bukan karena kita Muslim, meskipun kita mengaku sebagai Muslim, tetapi kita tidak melengkapi semua yang dipersyaratkan oleh Islam. Kita ingin agar Islam kita menjadi sempurna, karena Islam sungguh sempurna bagaikan bulan purnama di mana kita tidak bisa menambah atau menguranginya. Jika kalian menambah atau mengurangi sesuatu dari Islam, maka kalian akan jatuh ke dalam kesalahpahaman dalam agama. Tidak ada penambahan atau pengurangan di dalam Islam. Kita mengikuti Ahlu ’s-Sunnah wa ’l-Jama`ah, yang mengikuti jejak Nabi (s), sebagaimana Allah (swt) menyebutkan di dalam kitab suci Qur’an:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Qul in kuntum tuhibbuuna 'Llaaha fattabi`uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfir lakum dzunuubakum w 'Allaahu Ghafuuru 'r-Rahiim.

Katakanlah (Wahai Muhammad), jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku! niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surat Aali-'Imraan, 3:31)

“Jika mereka mengikutimu berarti mereka mencintai-Ku.” Apakah kita ini para pengikut Nabi (s)? Insyaa-Allah ya. Apakah kita sempurna? Kita berharap agar kita menjadi sempurna demi Nabi (s). Allah (swt) berfirman di dalam kitab suci al-Qur’an:

وَأْتُواْ الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا

Watuu ’l-buyuuta min abwaabihaa.

Masuklah ke rumah-rumah itu melalui pintu-pintunya. (Surat al-Baqara, 2:189)

Datanglah melalui pintu utama. Masjid ini mempunyai sebuah pintu yang harus kalian lewati untuk memasukinya, dan pintu menuju Allah adalah Muhammad (s). Kita katakan, “Laa ilaaha illa-Llah” dan ucapkan sebanyak-banyaknya sesuka kalian, tetapi mengucapkan “Muhammadun Rasuulullah” adalah pintu untuk memasuki Islam! Jadi Muhammadun Rasuulullah adalah pintu masuk menuju Surga; ucapkan, “Laa ilaaha illa-Llah” sebanyak-banyaknya, tetapi kalian tidak memenuhi persyaratan dalam Islam, yaitu mengucapkan, “Muhammadun Rasuulullah.” Perbedaan antara kita dengan agama lain adalah bahwa kita mengucapkan, “Muhammadun Rasuulullah.” Ya, mereka melakukan syirik, kita tahu itu, tetapi mereka berkata, “Tidak ada tuhan kecuali Tuhan,” dan yang perlu kita ketahui adalah, “Muhammadun Rasuulullah.” Jika kita tidak mengucapkan, “Muhammadun Rasuulullah,” Islam kita tidak sempurna.

Dari waktu ke waktu fitnah bermunculan, untuk melihat sejauh mana mereka bereaksi terhadap apa yang Allah katakan di dalam kitab suci al-Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ

Inna ’Llah yudaafi`uu `anilladziina aamanuu. Inna’Llaha laa yuhibbu kulla khawaanin fakhuur.

Sesungguhnya, Allah akan membela orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang berkhianat dan mengingkari nikmat. (Surat al-Hajj, 22:38)

Allah membela orang-orang yang beriman, Mukmin, dan kemudian Muslim: “Kami telah menurunkan kitab suci al-Qur’an dan Kami melindungi kitab suci al-Qur’an.” Dapatkah kalian melindungi kitab suci al-Qur’an? Tidak! Allah (swt) berfirman, “Aku menurunkan kitab suci al-Qur’an dan Aku melindungi kitab suci al-Qur’an,” dan “Aku mengirimkankan yang terbaik dari ciptaan-Ku kepada manusia, kepada Muslim dan non-Muslim, dan Aku melindunginya di dunia dan akhirat!”

Tidak ada yang dapat membahayakan pada kecintaan terhadap Sayyidina Muhammad (s)! Tidak mungkin! Biarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan, tidak perlu dihiraukan, perhatikan diri kalian sendiri! Ini adalah sebuah pengingat bagaimana kita sangat tidak suka melihat dan mendengar fitnah besar yang kita saksikan sekarang ini, yang membawa kesadaran kita pada apakah kita mengikuti perintah Nabi (s) atau tidak. Kita tidak ingin ada orang yang berbicara buruk mengenai Nabi (s), tentu saja, dan kita juga tidak suka ego kita berbicara gosip kepada kita ketika kita mengucapkan, “Allahu Akbar” dan masuk ke dalam salat kita. Berapa banyak gosip yang datang kepada orang-orang ketika mereka ingin membaca kitab suci al-Qur’an atau salat? Berapa besar negativitas di dalam diri kita? Kita harus menghilangkannya!

Wahai Muslim! Itu semua merupakan pengingat bagi kita untuk melihat pada diri kita! Kalian mungkin menciptakan gambaran yang salah di dalam pikiran kalian mengenai Islam di hadapan Allah dan para malaikat-Nya. Perbaikilah diri kalian! Ada orang yang, masyaa-Allah, telah memperbaiki diri mereka, alhamdilillah, tetapi ada orang yang seperti kita, yang juga harus berusaha untuk memperbaiki diri kita. Ada begitu banyak orang di seluruh dunia yang dimuliakan Allah sebagai awliyaullah, di mana Dia berfirman,

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

Alaa inna awliyaaullaahi laa khawfun `alayhim wa laa hum yahzanuun.

Ingatlah! Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) bersedih hati.

(Surat al-Yunus, 10:62)

ِنَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاء

Narfa`u darajaatin man nasyaau.

Kami tinggikan derajat orang-orang yang Kami kehendaki. (Surat Yusuf, 12:76)

Dan kemudian Dia (swt) berfirman,

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

Fawqa kulli dzi `ilmin `aliim.

Di atas orang-orang yang alim (berilmu) ada lagi orang yang lebih berilmu. (Yusuf, 12:76)

Jadi kita berdoa, yaa Rabbii, tingkatkanlah level kami untuk mengetahui Realitas Nabi-Mu, Muhammad (s), sebagaimana Engkau berfirman,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِي

Wa innaka la-`alaa khuluqin `azhiim.

Dan sesungguhnya engkau berbudi pekerti yang agung. (Surat al-Qalam, 68:4)

Kita memohon untuk mempelajari akhlak beliau (s), belajar dari beliau (s) apa yang kita perlukan untuk kehidupan kita sehingga kita tidak menjadi orang yang bodoh! Kami berdoa kepada-Mu, kami datang kepada-Mu, kami ingin agar Engkau mengisi kalbu kami dan pikiran kami dengan Ilmu Surgawi-Mu!

Dan apa yang Allah katakan mengenai Sayyidina Khidr (a)?

فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا

Fawajadaa `abdan min `ibaadinaa aataynaahu rahmatan min `indina wa`allamnaahu min ladunna `ilma.

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Surat al-Kahf, 18:65)

Itu adalah ilmu di mana Nabi (s) bersabda,

أنا مدينة العلم و علي بابه

Anaa Madinatu 'l-`ilmi wa `Aliyyun baabuha.

Aku adalah Kotanya Ilmu dan `Ali adalah Pintunya. (al-Haakim, Tirmidzi)

Mari kita masuk (ke sana), di mana Nabi (s) adalah kotanya ilmu dan `Ali (r) adalah pintunya! Mari kita minta, “Yaa Rabbii! Bukakanlah bagi kami agar kami bisa memasuki kota itu!”

Saya akan mengakhiri dengan ini. Ada seorang waliullah, seorang yang ikhlas dan saleh, yang senantiasa berdoa kepada Allah, “Bukakanlah Pintu-Mu bagi kami, kami ingin memasukinya dan mempelajari ilmu surgawi/ilmu ladunni.” Ia adalah seorang wali yang termasyhur di masanya dan banyak ulama yang masih mengikuti ajarannya dan berbicara mengenainya. Salah satu di antaranya ingin saya sebutkan, meskipun kalian mungkin tidak ingin mendengarnya, ia adalah Ibn Taymiyyah, yang merupakan salah satu pengikut Abu Yazid al-Bastami (q), yang mempelajari ajarannya dan mengesahkannya di dalam Fatawa-nya, Vol. 2, 4, 10 dan 11. Ia (Abu Yazid (q)) berkata, “Wahai Tuhanku!” dan di dalam kalbunya ia mendengar seorang malaikat berbicara. Setiap orang dapat mendengar dari dalam kalbunya, dan kita semua merasa bahwa kita pernah mendengar sesuatu, dan ia mendengar sebuah suara di dalam kalbunya yang mengatakan, “Jadilah tempat sampah bagi Ciptaan-Ku. Jadilah mazbala dan tampunglah kesulitan-kesulitan hamba-hamba-Ku, sampah dari orang-orang. Pertama engkau harus menolong hamba-hamba-Ku jika engkau ingin datang kepada-Ku.”

Nabi (s) menanggung sampah yang dilemparkan oleh tetangganya di halaman rumah beliau (s) setiap hari selama tujuh tahun dan beliau tidak pernah mengeluh mengenai hal itu! Selama tujuh tahun, Nabi (s) mengambil sampah tetangganya dan memasukannya ke dalam tempat sampah, dan beliau (s) tidak mengatakan apa-apa mengenai sampah itu kepada orang-orang. Apa yang akan kita lakukan jika tetangga kita melemparkan sampah ke halaman kita? Kita akan menuntutnya di pengadilan! Selama tujuh tahun, beliau (s) menanggungnya, sungguh merupakan akhlak yang terpuji!

Wa innaka la`alaa khuluqin `azhiim.

Dan sesungguhnya engkau mempunyai budi pekerti yang agung.

Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita dapat mencapai level itu, tetapi kita dapat mengikuti ayat ini:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Qul in kuntum tuhibbuuna 'Llaaha fattabi`uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfir lakum dzunuubakum w 'Allaahu Ghafuuru 'r-Rahiim.

Katakanlah (Wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..” (Surat Aali-'Imraan, 3:31)

Kami ikuti Yaa Sayyidii, yaa Rasuulallah, yaa Rahmatan li ‘l-`Alamiin! Kami ikuti, dan dari sini kami bersaksi bahwa kami memerlukan dukungan untuk mengikuti jejak Nabi (s) dan menjauhkan Setan dan Iblis dari diri kami!

Wa min Allahi 't-tawfiiq, bi hurmati 'l-habiib, bi hurmati 'l-Fatihah.

http://www.sufilive.com/Allah_is_the_Defender_of_Sayyidna_Muhammad_pbuh_-4566.html

© Copyright 2012 Sufilive. All rights reserved. This transcript is protected

by international copyright law. Please attribute Sufilive when sharing it. JazakAllahu khayr.

UA-984942-2