Available in: English   Bahasa   Bengali   Go to media page

Khalwat di Maqaam Sayyidina `Abdul Qadir al-Jilani (q)

Sultan al-Awliya

Mawlana Syekh Nazim al-Haqqani

12 Juni 2011 Lefke, Siprus

Seluruh Dunia ini bagaikan penampakan sebuah lukisan; keberadaan dan ketidakberadaannya adalah sama, tetapi hakikatnya terjadi sejak sebelum keabadian (azali) hingga abadi.

Empat puluh tahun yang lalu, guru saya memerintahkan saya untuk berkhalwat di bulan Rajab dan Syakban di maqaam Sayyidina al-Baz, “Sang Rajawali Merah,” Sayyidina Abdul Qadir Jilani (q), di Baghdad. Guru saya diundang ke Madinatu 'l-Munawwara, semoga Allah mencurahkan berkah dan kedamaian yang sempurna kepada para penghuninya, dan dari sana beliau memerintahkan saya untuk berkhalwat.

Pada hari ketika saya tiba di maqaam tersebut, beberapa saudara Jilani dari Kurdistan berada di sana untuk berziarah kepada Mawlana Syekh al-Baz. Malam itu saya tidur bersama mereka. Mereka berkata, “Kami berada di sini untuk mengunjungi Sayyidina al-Baz selama beberapa hari dan pagi harinya, insyaa-Allah, dengan izin beliau, kami akan kembali ke daerah asal kami.” Di pagi harinya saya turun untuk masuk dan saya sampai di bagian tengah dari sebuah tempat terbuka. Seorang pria mendatangi saya. Ia tidak memakai apa-apa di kepalanya dan ia memakai pakaian biasa seperti orang-orang pada umumnya; ia tidak berpakaian seperti seorang darwis, dan tingginya sama seperti Syekh Murad tetapi ia lebih tegap.

Ia mendatangi saya dari arah samping dan berkata, “As-salaamu `alaykum, wahai Syekh.”

Saya jawab, “Wa `alaykum as-salaam.”

Ia bertanya, “Apakah engkau Syekh Nazim?”

“Ya.”

“Dan engkau berasal dari Damaskus, Syam, untuk berkhalwat di sini?”

“Ya.”

“Tadi malam di sebuah majelis, guru saya memberi sinyal pada saya, dan berkata, ‘Ini adalah anakku yang datang dari Syam untuk berkhalwat di maqaam-ku; ia telah diperintahkan dan diizinkan untuk berkhalwat di sini selama empat puluh hari. Ia tidak boleh pergi keluar dan segala kebutuhannya akan dipenuhi di sini, di maqaam ini saja.’ Wahai Syekh Nazim! Saya telah diperintahkan dan diizinkan untuk melayanimu selama engkau tinggal di sini. Ketika engkau berada di ruanganmu, apapun kebutuhanmu, aku berada di sini untukmu karena engkau tidak boleh bicara kepada siapapun.”

Saya berkhalwat selama empat puluh hari, dan melakukan suluuk, disiplin/adab spiritual atau “menempuh perjalanan” selama empat puluh hari. Ketika saya menyelesaikan apa yang diperintahkan kepada saya, saya mengirimkan pesan kepada guru saya, meminta untuk kembali ke Syam.

Setiap hari orang itu membawa apa yang saya perlukan. Ia membawakan roti dengan sup lentil. Setiap hari saya datang pada saat sahur, pada sepertiga malam terakhir. Mereka telah membangun bangunan baru di belakang maqaam Sang Sultan. Di sana saya duduk di tempat di mana bagian kaki beliau berada sejak pagi hingga Isya, dan tidak ada seorang pun yang berada di sana. Kami menyelesaikannya karena kemurahan Allah kepada kami.

Saya malu untuk mengatakan hal ini, tetapi kalian telah membuka topik ini. Ketika perintah telah selesai dilaksanakan, saya meminta untuk kembali ke Syam dan orang yang sama tadi mendatangi saya pada hari terakhir.

Saya berkata, “Wahai guruku, syekhku! Pekerjaanku telah selesai dan aku meminta izinmu untuk kembali ke tempat asalku.”

Ia berkata, “Ya, engkau diizinkan untuk pergi, tetapi aku mempunyai sebuah permintaan. Aku hanya memintamu abaa, jubah yang biasa engkau pakai ketika sedang beribadah.”

Saya membelinya di Damaskus seharga 120 dinar Suriah; itu adalah sebuah abaa untuk para darwis.

Ia meminta, “Aku menginginkan jubah ini darimu,” jadi saya memberikannya kepadanya.

Ia mengambilnya dan menyalami saya, kemudian ia berbalik, satu langkah, dua langkah, tiga langkah dan menghilang. Ini adalah dari Sultan; sebuah kehormatan besar dipanggil olehnya dengan sebutan “anakku”, meskipun bagaimana saya bisa menjadi anaknya? (Mawlana Syekh tertawa)

UA-984942-2