a'udzu billahi min 'asy-syaythaani 'r-rajiim
bismillahi 'r-rahmani 'r-rahiim
Nawaytu'l-arba`iin, nawaytu'l-`itikaaf, nawaytu'l-khalwah, nawaytu'l-riyaadhah, nawaytu's-saluuk, nawaytu'l-`uzlah lillahi ta`ala fii hadza'l-masjid
Athi` Allah wa athi` ar-rasula wa uli 'l-amri minkum
Thariqatuna ash-shuhbah wal-khayru fil jam`iyyah
Kami sampaikan kemarin bahwa bahkan jika kalian mencapai level ilmu yang tinggi dan kalian menggunakan ilmu itu untuk memperlihatkan keajaiban, itu dilarang (tidak dapat diterima). Dan keajaiban hendaknya kalian simpan untuk kalian sendiri, kalian jangan memperlihatkan ego kalian. Ketika seseorang melakukan sesuatu, ia merasa telah melakukan suatu amal/perbuatan besar, kalian ingin memperlihatkan (siapa) diri kalian. Itulah sebabnya mengapa awliyaullah, khususnya kummal dari kaliber tinggi di antara Mata Rantai Emas, telah diperintahkan untuk tidak memperagakan keajaiban. Semua yang kalian lihat pada diri mereka tidak dianggap kejaiban; itu semua hanya masalah biasa yang mereka teteskan (semprotkan) di sekitar murid mereka agar semua murid tetap saling mendekat. Namun keajaiban sesungguhnya yang mereka lakukan adalah apa yang mereka kerjakan terhadap hati kalian dan membuat kalian bercahaya dan membawa kalian menghadap Nabi (s) sekali setiap dua puluh empat jam.
Maka Ubaydullah al-Amawi ini bertanya-tanya dengan pertanyaan berikut ini. Ia bertanya kepada Sayyidina `Abdul-Khaliq al-Ghujdawani قدس سرّه dengan mengatakan, "Aku memiliki ini, aku memiliki itu, aku memiliki ini. Apakah aku memerlukan mursyid?" Dan apa pun yang menimbulkan pertanyaan adalah tanda keraguan di dalam hati, karena itu tidak muncul di lidah kecuali itu muncul di dalam hati. Jadi semua pertanyaan seperti itu yang ditanyakan kepada Sayyidina `Abdul-Khaliq al-Ghujdawani قدس سرّه tidaklah penting, meskipun beliau menjawab itu semua. Itulah sebabnya Sayyidina 'Abdul Qadir al-Jilani قدس سرّه, semoga Allah memberkati ruhnya, berkata, "Jika kau melihat seorang wali terbang di udara, katakan ini bukanlah seorang wali." Karena awliyaullah suka menyembunyikan diri mereka dalam kerendahan hati. Jika kalian melihat seorang wali yang terbang di udara dan melakukan sesuatu yang menentang syariah, itu bukanlah seorang wali, jadi keluarkan dia dari hati kalian (jangan disimpan lagi).
Jadi kemarin saya menjelaskan tentang Syekh Syarafuddin قدس سرّه dan orang-orang yang tahu sedikit suatu cara untuk memanfaatkan jin dalam kehidupan mereka. Dan mereka mencoba untuk menipu para murid – seperti tiga patung pada masa Nabi (s) ketika Setan masuk ke dalam tiga patung tersebut - Hubal dan al-Uzza dan al-Lat – tiga patung yang mereka sembah. Dan jin non-Muslim masuk ke dalam tiga patung ini dan mereka mulai berbicara. Mereka bermaksud membuat fitnah. Maka menggunakan jin seperti itu, itulah sebabnya kita harus sangat berhati-hati terhadap orang yang menamakan diri syekh yang mencoba untuk mencelakakan para murid, atau para murid syekh. Mereka menggunakan jin untuk melakukan sihir.
Dan begitulah saya membawa kisah Grand Grandsyekh, Syekh Syarafuddin قدس سرّه, yang berada di Turki di Aya Sofya, dalam tahun 1913 terdapat seorang pendeta taa'ifa; dan karena itu tadinya adalah sebuah gereja yang diubah menjadi masjid, maka mereka memasuki masjid itu dan mereka terbang ke atas di balkon dan ke bawah lagi. Ke atas dan ke bawah membuat hadirin gempar. Shaykh Sharafuddin masuk, dan itulah sebabnya sangatlah penting bagi seseorang yang ingin menolak sihir untuk melakukan hal ini (berikut). Dan Mawlana kini memberi izin bagi orang-orang yang punya masalah dengan sihir, atau mereka merasa telah diganggu oleh jin. Katakan Wa qul jaa al-haq wa zahaq al-batil [17:81], "kebenaran telah datang dan kepalsuan telah musnah." Dan begitulah Syekh Syarafuddin قدس سرّه masuk, masuk masjid yang sebelumnya adalah gereja, dan para pendeta tersebut beterbangan ke atas dan jatuh, naik ke atas dan jatuh. Jadi apa yang dilakukannya? Kita tinggalkan itu untuk pertemuan berikutnya. (setiap orang tertawa)
Jadi apa yang beliau lakukan? Beliau mengambil sepatunya ... Apa yang dilakukannya? (melemparkan sepatunya – kata hadirin). Apa? Tidak. Beliau tidak perlu melemparkan sepatunya. Tanpa itu beliau bisa membuat mereka jatuh. Jadi beliau mengambil sepatunya, dan ketika kalian memakai sepatu, bagaimana kalian memakainya? Bagaimana kalian memakainya? Dari atas atau dari bawah? (dari atas). Maka beliau balikkan sepatunya, memperlihatkan bagian bawahnya di atas dan bagian atas di bawah. Jadi seketika beliau lakukan hal itu, para pendeta itu mulai kehilangan energinya, jatuh. Maka beliau letakkan sepatunya di pintu masjid secara terbalik. Karena itu baatil. Baatil. Kalian harus memperlihatkan bagian bawah sepatu, di mana kalian menginjak tanah. Jadi beliau membalikan sepatunya dan mulai membaca Surat Yasin, tetapi bukan dari awal – melainkan dari akhir. (hadirin tertawa)
Jadi apakah ayat terakhir? (kulli syay, tidak mungkin) Dan bagaimana beliau membacanya? Mari kita membaca yasin wal-quran il-hakiim. Mari kita membaca inakka lamin al-mursaliin. Tidak, beliau tidak membaca ayat-ayat itu secara beruntun begitu, namun membaca dari huruf terakhir dan mundur. Jadi mursaliin, apakah huruf terakhirnya? nun, kemudian setelah itu ya, lalu lam, sebelum itu ra. Jadi beliau membaca niil, bukan liin. Jadi beliau membaca dari belakang seluruh Surat Yasin, dan segera setelah beliau membaca ayat terakhir dihitung dari belakang, dan segera setelah beliau membaca dari belakang itu, mereka itu berjatuhan. Sihir itu berhenti.
Jadi siapa pun yang memiliki masalah dengan sihir dapat mengatasinya dengan mengambil ayat terakhir Surat Yasin dan membacanya secara terbalik, ayat terakhir itu dan menulisnya sesuai dengan bagaimana beliau akan membacanya, beliau membaca huruf demi huruf dibaca dari belakang ke depan. Mulailah dengan satu ayat, sampai sihir itu hilang. Jika sihir itu hilang, alhamdulillah. Jika tidak, lanjutkan dengan ayat berikutnya. Jika sihir hilang, alhamdulillah. Jika tidak, baca ayat berikutnya. Begitu seterusnya. Sampai dengan tujuh ayat, karena kita bukan Syekh Syarafuddin قدس سرّه untuk bisa menghapal itu. Lihatlah awliyaullah, bagaimana mereka memiliki kemampuan untuk melakukan itu dan membaca. Jadi ketika haqq datang, batil musnah. Ketika kita membalik semua ayat itu, segera sihir itu lenyap.
Jadi kembali ke Ubaydullah al-Amawi, kisah semula, Ubaydullah al-Amawi sedang berpikir pikir apa kira-kira pertanyaan yang akan diajukan kepadanya oleh Sayyidina Abdul Khaliq al-Ghujdawani قدس سرّه. Dia tidak dapat tidur karena dia berpikir-pikir, “Aku mengetahui semua ilmu ini dari atas sampai ke bawah. Jadi ada apa lagi selain itu? Apakah ada pertanyaan (lain)?" Semua itu tidak pas baginya karena semua ilmu itu didapatnya di dunia. Jadi apa pun yang kalian dapatkan, yang tidak tersambung ke akhirat tidaklah akan kuat atau tidak berdiri atas fondasi yang kokoh. Jika kalian membangun bangunan di tepi jurang, maka bangunan itu akan runtuh dan kalian akan runtuh bersamanya.
Jadi kalian harus membangun pengetahuan kalian pada sesuatu yang surgawi, bukan (hanya) duniawi. Eh! Bagaimana kalian melakukannya atas sesuatu yang surgawi? Atas pertanyaan yang akan ditanyakan oleh Syekh `Abdul-Khaliq al-Ghujdawani قدس سرّه kepadanya, karena itu terkait dengan sesuatu yang surgawi. Hendaknya itu tidak dibangun atas dasar pengetahuan duniawi. Karena, ketika ia berkata, "Aku belajar ini dan belajar itu," dikatakan bahwa, "Apa yang kupelajari, itu adalah karena ibadahku yang terus-menerus di dunia." Beliau akan mengatakan kepadanya, "Tidak, kau tidak dapat membentuk dirimu atas dasar ilmu di dunia; itu harus dikaitkan dengan akhirat." Itulah sebabnya (dalam kasus) Ahmad al-Badawi قدس سرّه, syekh yang mendatanginya, mencabut semua ilmu yang dipelajarinya, karena itu dibangun atas dasar dunia. Kemudian ia dapat menuangkan ilmu surgawi kepadanya.
Jadi kalian mau tahu tentang pertanyaan Sayyidina `Abdul-Khaliq al-Ghujdawani قدس سرّه? Baiklah. Beliau bertanya, "Apakah kau ingat pada saat kau masih dalam kondisi ciptaan yang lembut, belum memiliki bentuk (fisik), seperti misalnya bentuk ruh? Apakah kau ingat saat itu atau hari itu?” Ia memandang kepadanya seolah-olah ia tidak memahami apa yang dikatakannya. Saya rasa kalian di sini memahaminya, namun ia tidak memahaminya. Apakah kau paham? (Saya rasa begitu) Apakah kalian ingat satu saat dalam hidup kalian? Karena kehidupan ini bukan (hanya ) ketika kalian dilahirkan. Ini adalah kehidupan dunia, sebuah daur (sebuah tawaf), namun itu adalah sebuah daur kedua. Tetapi hidup adalah ketika kalian masih berbentuk ruh, ketika Allah menciptakan kalian sebagai sebuah ruh. Itu adalah tawaf yang pertama di surga. Sesudah itu kalian berada dalam tawaf kedua di dunia. Kemudian kalian dalam tawaf ketiga di alam barzakh, dari kuburan sampai nanti pada Hari Pengadilan. Kemudian dari Hari Pengadilan ke kehidupan abadi adalah tawaf keempat.
Itu artinya, “Apakah kau ingat tawaf pertamamu, apa yang kau lakukan sejak saat itu kau muncul di sana? Karena aku tidak... tidaklah penting bagiku tawaf duniamu. Apa yang aku tanyakan adalah tawaf sebelum dunia. Apakah kau ingat?" Tidak ada jawaban. Ia memiliki banyak pertanyaan, kini. Kini ia mengeluarkan mereka (pertanyaan itu). Wa asaluka syay-in laa buda minha. hal tadrik... bil bala hiin qala rabbuka alastu birabbikum qaaluu bala. "Aku bertanya kepadamu, apakah kau tahu dan apakah kau ingat saat ketika Allah bertanya kepadamu, 'Bukankah Aku Tuhanmu?' dan semua menjawab 'Ya!'? Dan apakah kau ingat saat itu?" Ia berkata, "Tidak." Beliau berkata, "Maka apa yang kau miliki kini bukanlah apa-apa. Yang paling penting adalah saat itu. Itu adalah apa yang akan memberimu kunci bagi pintumu. Apakah kau mengingatnya? Apakah kau ingat?" – ia melemparkan banyak pertanyaan kepadanya – "Apakah kau ingat apa yang terjadi saat itu ketika setiap orang, dan khususnya kamu, berkata 'Bala – Ya!' Dan apakah kau ingat hari besar itu, yang adalah hari besar surgawi, apakah kau tahu siapa yang berada di sebelah kananmu dan apakah kau tahu siapa yang berada di sebelah kirimu dan apakah nama-nama mereka di surga dan di dunia? Di sebelah kiri dan di sebelah kanan, dan bukan hanya satu yang di kanan saja dan satu yang di kiri saja – kau harus tahu siapa yang pertama di kananmu sampai dengan yang paling kanan dan dari sebelah kiri yang pertama sampai dengan yang paling kiri. Arwahu junuudun mujannada 'ruh dikumpulkan dalam pasukan.' Mereka semua berada bersama dan kau harus tahu mereka dan menyebut mereka dengan nama ayah-ayah mereka– apakah kau tahu ayah-ayah mereka?"
Jadi apa yang ia katakan sebagai jawaban? Ia berkata, “Tidak.” Dan Sayyidina `Abdul-Khaliq al-Ghujdawani قدس سرّه berkata kepadanya, "Semua yang kau sebutkan, penampakan-penampakan, pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi," dan bertanya begitu banyak pertanyaan kepadanya. "Jadi semua yang kau sebutkan tadi itu, semua penampakan tingkat tinggi yang kau sebutkan, jika kau tidak menyimpan butir yang dipertimbangkan (tadi), kau adalah seperti seorang anak kecil yang merangkak dan jatuh. Kau bukan apa-apa! Fa lasta syay-an- kau bukan apa-apa dan apa yang kau katakan kepadaku tentang penampakan yang kau terima adalah seperti mainan, seperti gula-gula yang diberikan awliya untuk anak-anak kecil. Seperti gula-gula dan mainan untuk anak-anak yang diberikan awliya kepada pengikutnya, itu diberikan agar kau tetap tertarik kepada jalan (tarekat) itu."
Jadi di mana kita? Setiap dari kita, mengenakan turban besar. Kalian bisa melihat bagaimana mereka berjalan di internet; mereka berjalan bersama "para murid, dengan tongkat di depan. Mereka berada di internet, kalian dapat melihat mereka di YouTube – para murid memasukkan mereka (syekh) di YouTube. Mereka memutar-mutar tongkatnya dan mereka berjalan. Mereka berpikir mereka memiliki sesuatu. Dan saya tahu ketika mereka mendatangi Mawlana Syekh mereka duduk, mereka semua, para syekh yang berpikir mereka tahu sesuatu. Mawlana bertanya kepada mereka, "Siapakah namamu?" Seolah-olah seperti memberi tahu mereka, "Kamu bukan apa-apa." Berapa kali saja beliau bertanya kepada salah satu dari mereka--kita tahu betul, “Siapakah namamu?” Apakah kau di sana doktor, ketika beliau bertanya kepada salah seorang di antara mereka, "Siapakah namamu?” (Saya ada di sana ketika ia bertanya kepada kami siapakah namanya).
"Ya waladii – Wahai anakku! Kalian harus mengambil tarekat kalian dari syekh sempurna yang dapat membawa kalian melalui jalan itu sampai di ujungnya: untuk mengetahui apa yang harusnya kalian jawab, dan apa yang telah kalian janjikan, dan apa yang telah kalian terima, dan apa kewajiban yang kalian tetapkan untuk diri kalian, dan apa yang akan kalian lakukan untuk menolong mereka yang datang untuk mendengar apa yang kalian katakan. Dan kalian tidak akan mencapai level itu tanpa mengikuti seorang syekh yang sempurna. Kalian harus mengikuti seseorang yang dapat membawa kalian (kembali) ke tanggal itu, ke hari itu."
Awliyaullah, mereka memiliki rahasia untuk kalian, menunggu untuk memberikannya kepada kalian – namun kalian harus berlari mengejar itu. Bukan hanya duduk-duduk saja di kursi kalian dan menunggu segala sesuatunya datang kepada kalian. Seperti orang yang duduk mengelilingi meja dan mau makan dan mereka tidak mau berbuat apa-apa. Bagaimana kalian ingin mendapat makanan di meja tanpa berbuat apa pun, masakan untuk seharian? Kalian harus melakukan sesuatu, kalian harus melakukan ibadah, kalian harus melakukan sesuatu. Kalian harus melakukan sesuatu yang akan membuat syekh bersuka cita terhadap kalian. Dan syekh tidak akan memberi dengan mudah. Khususnya kalian, beliau akan memberi kalian begitu banyak ujian sampai kalian terpuruk.
"Ya waladii law abadta ibadata ats-tsaqalayn wa hasala lak al kushufat al-kainat min adam ila yawmil-qiyamah ma yakuunu laka `itibar. Wahai anakku, jika kamu melakukan ibadah penuh sebanyak jinn dan insan (umat manusia), sejak masa Adam sampai Hari Pengadilan dan semua macam bukaaan datang kepadamu, itu tidak ada nilainya bagi kami. Itu tidak ada artinya bagi kami jika kamu tidak tahu apa yang akan terjadi kepadamu pada Hari Perjanjian. Itu adalah syaratnya.. Jika kalian tidak mencapai kehidupan dunia kalian untuk mengetahui bagaimana keadaan kalian pada Hari Perjanjian, dalam tawaf pertama, dalam tawaf ruhaniah – semua yang telah kalian capai di dunia, itu tidak ada harganya. La `itibara laha, itu pun bahkan tidak dipertimbangkan, tiada nilai; itu hanya akan dilemparkan ke muka kalian.
Pada saat itu beliau berkata, "Ya waladii, apakah kau tahu apa yang terjadi kepadaku dan kepada semua awilya sebelumku ini, agar mengetahui semua ilmu tentang Hari Perjanjian ini? Aku akan membawamu mengikuti sepanjang jalan di sana, namun kau harus meninggalkan semua penampakanmu dari dalam hatimu; semua kusyufaatmu, semua ilmu gaib yang terungkap kepadamu. Jangan melihat ke sana. Buanglah mereka itu dari dalam hatimu. Jika kau melihat kepeda mereka itu, aku tidak dapat membawamu ke Hari Perjanjian."
Jika seseorang hari ini melihat sebuah mimpi, ia terbang. "Oh, aku melihat sebuah mimpi." Lebih baik tidak melihat sebuah mimpi. Jika seseorang melihat mimpi ia bilang, “Oh, aku melihat malaikat, aku melihat turban, aku pergi ke Madinah, aku pergi ke Mekah." Simpanlah itu untuk dirimu sendiri. Mengapa bicara tentang hal itu? Karena ia merasakan sisi egonya, “Aku melihat itu. Apa artinya? Aku akan menjadi seorang wali.” Apakah kalian mengatakan hal seperti itu kepada saya? Jangan sekali-kali kalian mengatakan kepada saya tentang sebuah mimpi. Adalah mudah untuk tidak melihat mimpi. Paling tidak kalian tidak akan terkecoh. Itu datang dari hasrat, mereka mengirimkan itu kepada kalian sebagai ujian bagi kalian. Apakah kalian akan tetap kokoh dan tetap memerangi ego? Kalian harus mengatakan, “Ini adalah dari kemurahan mereka kepadaku, tetapi ini dari cinta mereka. Namun aku tidak memiliki cinta bagi mereka itu seperti cinta mereka kepadaku.” Namun kini, jika seseorang melihat sebuah mimpi ia menjadi seorang syekh, seorang syekh besar. Saya tahu dari ini. Mungkin mereka minum semacam tablet yang membuat mereka melayang. Dan mereka mulai melihat macam-macam, dan mereka melihat ini, dan melihat itu dan mulai menghayal.
Subhanallah! Allahu akbar!
Maka beliau berkata kepadanya, "Jika kau akan tetap percaya kepada dirimu sendiri, aku tidak dapat membukanya untukmu. Namun bila kau berserah diri dan kau membuang pertanyaan-pertanyaan tadi dari pikiranmu – duduk bersamaku sepanjang waktu sekarang, bertanya kepadaku pertanyaan, pertanyaan, pertanyaan, bilang ini kepadaku, bilang itu kepadaku – jika kau tidak membuang itu dari dalam hatimu dan menjadi seperti orang mati di antara kedua tanganku, aku tidak dapat membawamu ke sana." Meskipun orang mati dalam tarekat juga tidak dapat diterima, karena ia berkata, "Janganlah seperti seorang mati yang berada di tangan pemandi mayat. Mungkin ia berkata, 'Hei jangan memutar-mutarku begitu dan begini! Kau harus lebih lembut kepadaku, jangan dingin begitu!" Dan Sayyidina Syekh Syarafuddin قدس سرّه berkata, "Kami tidak menghendaki penyerahan diri seperti mayat. Jadilah seperti selembar daun kering yang jatuh dari pohon; angin akan membawanya ke mana pun ia pergi."
Jadi ia mengambil level yang lebih rendah. Ia berkata, "Aku mengambilmu sebagai satu mayat di tangan pemandi mayat." Ia tidak berkata apa pun. "Jadi jika kau menerima, aku dapat membukanya untukmu. Jika kau tidak menerima, tidak ada izin untuk bukaan." Ia berkata, "Ya sayyidii aku menerima." Jadi apa yang harus dilakukan Syekh `Abdul-Khaliq al-Ghujdawani قدس سرّه? Ia berkata akan membawanya jika ia menerima (syarat itu); ia berkata, "Aku terima." Beliau berkata, "Jangan, kau harus mati terlebih dulu. Aku akan menghancurkanmu. Apakah kau siap untuk dihancurkan?" "Menghancurkan aku? Bagaimana?" Masih saja ia punya pertanyaan (menggambarkan keraguan). Bukannya berkata, "Ya," ia berkata, "Bagaimana?" "Aku akan menembakmu. Kau terima jika aku menembakmu?" Ia lalu berpikir, "Bagaimana? Dengan sepucuk senjata?" Mereka tidak memerlukan senjata, awliyaullah. Dengan sebuah busur dan anak panah, mereka tidak memerlukan itu. Mereka akan menghancurkan kalian dengan ujian.
Beliau berkata, "Ya waladii jika kau memberikan hidupmu kepadaku sekarang, karena kau memiliki semua penampakan ini, kau dapat memberikan hidupmu sekarang dan menghancurkan egomu dalam cara yang akan kuperlihatkan kepadamu. Aku akan membawamu sepajang jalan itu dalam waktu tiga jam, bukan dalam satu saat. Dalam tiga jam." Awliyaullah dapat mengambil satu saat, namun tiga jam adalah seperti mencuci pakaianmu di dalam mesin cuci dan mengeringkannya. Jadi ia harus memandikan dan mengeringkannya, namun dengan apakah ia akan mencuci dan dengan apakah ia akan mengeringkannya? Beliau berkata, "Aku akan mencucimu dengan apa yang telah mereka gunakan untuk mencuciku. Dan ketika aku mencucimu, kau akan mulai mengerti ilmu yang kau capai pada Hari Perjanjian. Jadi siapkan dirimu."
Kita menyiapkan diri kita sampai hari esok, jadi jika kalian mau menerima itu kalian pun harus dicuci. Jadi ujilah dia sampai besok.